Septiadi, Magister Ilmu Politik UNAS : TNI di Masa Pandemi: OMSP Versus Reformasi

by -1,297 views

OPINI

TNI di Masa Pandemi: OMSP Versus Reformasi
Oleh Septiadi
safetycity@gmail.com(Mahasiswa Megister Ilmu Politik UNAS)

Beritajabar.net-Hingga saat ini pandemi Covid-19 masih menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Data terakhir, 12 Agustus 2021, merujuk situs resmi https://covid19.go.id/ tercatat di Indonesia terdapat 3.774.155 jiwa terkonfirmasi, 412.776 jiwa kasus aktif, 3.247.715 jiwa sembuh, dan 113,664 jiwa meninggal.

Pemerintah Indonesia pun masih terus berupaya untuk menanggulangi pandemi Covid-19 sehingga tidak lagi menjadi ancaman bagi masyarakat dan negara Indonesia.

Berbagai strategi dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi ancaman pandemi Covid-19 ini. Karena secara tidak langsung pandemi Covid-19 mengancam kesalamatan dan kedaulatan rakyat dan negara Indonesia.

Oleh karena itu, jangan heran tatkala pemerintah menerapkan kebijakan penanggulangan dan pencegahan pandemi Covid-19, seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau militer. Karena untuk menangulangi pandemi Covid-19 tidak cukup hanya mengandalkan sipil saja.

Semua elemen masyarakat harus turut terlibat.Tentunya melibatkan TNI dalam penanggulangan pandemi Covid-19, misalkan pada PPKM memberikan kesan tersendiri dalam masyarakat.

Masyarakat menilai, keterlibatan TNI atau militer ini malah membuat masyarakat ketakutan. Kesan horror, layaknya kondisi perang atau darurat militer. Itulah yang ada dalam bayangan masyarakat.

Masyarakat melihat personil TNI lengkap berserta kendaraan tempurnya mengawali keberlangsungan PPKM. Masyarakat seperti berhadapan dengan militer pada masa pendemi seperti ini.

Kenapa TNI dilibatkan? Di Indonesia, pelibatan militer telah dilakukan sejak awal penanganan Covid-19 hingga memasuki era kenormalan baru (Fitri, 2020).

Pelibatan tersebut memang diperbolehkan dalam konteks operasi militer selain perang (OMSP), sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No.3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No.34/2004 tentang TNI.

Peran TNI juga diperkuat oleh Keppres No 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam, UU No 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara dan Inpres No 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan Dalam Mencegah, Medeteksi dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, Kedaruratan Nuklir, Biologi dan Kimia.

Dalam regulasi tersebut TNI sebagai unsur pertahanan negara dapat melakukan peran dalam menangani situasi krisis akibat wabah atau pandemi. Pemerintah hanya menerbitkan peraturan mengenai pembentukan gugus tugas dalam Keppres No.7/2020 pada bulan Maret yang kemudian direvisi dalam Keppres No.9/2020 pada bulan April dan Inpres No. 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.

Pelibatan TNI dalam penanganan Covid-19 telah dilakukan sebelum pemerintah mengumumkan secara resmi kasus corona pertama di Indonesia.

Sejak awal pandemi merebak, prajurit TNI terlibat aktif, mulai dari penjemputan warga negara Indonesia (WNI) dari Wuhan, Tiongkok, hingga penyiapan tempat karantina dan fasilitas layanan kesehatan (fasyankes).

Selain itu, TNI juga melakukan beberapa operasi dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19 seperti operasi penanganan media, operasi pengamanan dan operasi dukungan.

TNI juga membentuk empat Komando Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad) di empat wilayah. Keempat Kogasgabpad terdiri dari Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Jakarta, Kogasgabpad Natuna, Kogasgabpad Pulau Sebaru dan Kogasgabpad Rumah Sakit Khusus Infeksi Pulau Galang.

Selain terlibat dalam penanganan pandemi Covid-19, TNI telah banyak melakukan OMSP, diantanya operasi perdamaian delapan misi PBB, bantuan kemanusiaan dan penanganan bencana (regular dilakukan di daerah rawan dan terdampak bencana), kontraterorisme (operasi Camar Maleo dan Tinombala), peningkatan infrastruktur pertanian, dan masih banyak lagi.

Kenapa militer kenapa melakukan OMSP? Praktik OMSP tidak hanya dilakukan oleh Indonesia saja, seperti Amerika, Rusia, Inggris, dan Tiongkok pun melakukan praktik tersebut.

Sama halnya dengan Indonesia, Amerika, Rusia, Inggris, dan Tiongkok juga melibatkan militernya dalam penanganan pandemi Covid-19. Militer mereka dilibatkan dalam berbagai hal, seperti dukungan medis, transportasi, logistic, pengamanan, dan kegiatan sosial.

David Pion Berlin (Berlin, 2016), seorang profesor ilmu politik dari Universitas California, dalam bukunya “Military Missions in Democratic Latin America” menjelaskan ada beberapa alasan militer dilibatkan dalam OMSP yaitu Pertama, Strategic Dilemma.

Adanya ancaman-ancaman non tradisional di area abu-abu, seperti terorisme, gerakan separatis bersenjata, dan gerakan milisi. Memang dalam menjaga keamanan berada di tangan polisi, namun melihat skala ancamannya, serangannya membuat polisi tidak bisa menangani. Oleh karena itu militer harus masuk menangani.
Kedua, Developmental Dilemma.

Pelibatan militer sebagai kompensasi dari masalah kapasitas rendah dari institusi sipil dalam proyek pembangunan. Misalkan militer banyak terlibat dalam proyek pembangunan infrastruktur, melawan kartel narkoba. Hal ini didasari oleh kapasitas pemerintah nasional dan lokal yang dikuasai sipil belum memadai, maka dengan keterlibatan militer pembangunan bisa tercapai. Ketiga, Humanitarian Crisis. Bencana alam skala besar, krisis kesehatan yang over load sehingga militer ikut terlibat.

Namun dari masalah tesis diatas, untuk Indonesia sepertinya adanya khas, dibandingkan dengan negara lain atau asia tenggara, yaitu tutelary belief. Bahwa pelibatan OMSP (militer) dalam operasi domestic dan negara-negara asia tenggara, ada kepercayaan bahwa militer layak untuk turut serta. Dalam istilah pretorianism dikenal dengan guardian of the state tentara pejuang dan tentara rakyat.

Pemerintah melibatkan TNI dalam penanggulangan pandemi Covid-19 menunjukan adanya dependensi yang cukup kuat dari pemerintahan sipil terhadap militer sekaligus melaksanakan agenda TNI (Honna, 2020), yakni agenda OMSP. OMSP bersifat parsial (partially militarized), artinya TNI tidak secara penuh dimobilisasi dalam perumusan keputusan politik ataupun implementasinya.

Keputusan politik masih berada di tangan otoritas sipil.
Samuel Huntington menegaskan fokus militer hanya dikhususkan untuk menghadapi peperangan (ancaman eksternal) dan militer hanya bertindak untuk menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan oleh otoritas sipil (Huntington, 1957). Samuel intinya ingin menyampaikan perlunya profesionalisme militer.

Dalam kehidupan demokrasi, militer secara ideal berada di bawah kontrol sipil. Begitu halnya dengan pembentukan kebijakan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan negara terkait urusan-urusan pertahanan atau militer dilaksanakan oleh otoritas sipil yang memiliki legitimasi politik secara demokratis.

Sehingga kebijakan yang dijalankan oleh militer berasal dari keputusan sipil yang telah didelegasikan oleh pemerintah sipil. Kontrol sipil terhadap militer yang ideal, meliputi ranah keputusan perintah perang hingga strategi pertahanan yang akan digunakan.

Era reformasi, demokrasi di Indonesia memiliki tujuan untuk mewujudkan profesionalisme militer dengan memposisikan kontrol sipil terhadap militer.

Secara ideal, di negara demokratis, sipil memiliki kontrol penuh atas militer. Pengawasan sipil terhadap militer atas sektor keamanan, termasuk pengawasan dalam pelaksanaan OMSP, melibatkan partisipasi aktif otoritas sipil terutama dalam mendefinisikan kebijakan keamanan serta pengawasan atas praktik aktor keamanan.

Tidak dipungkiri, keterlibatan TNI dalam penanggulangan pandemi Covid-19 melalui operasi OMSP sangat diperlukan. Meskipun OMSP telah memiliki payung hukum, tapi bertentangan dengan reformasi dan TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

TAP MPR itu menyebut, peran sosial politik dalam dwifungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Intinya, pengembalian peran TNI dalam kegiatan-kegiatan di ranah sipil bertentangan dengan reformasi dan TAP MPR.

Jika dikaitkan antara pelibatan TNI dalam penanggulangan pandemi Covid-19 dengan agenda reformasi, bagaikan buah simalakama.

Namun keadaanlah yang bisa mengkompromikan semuanya. Sipil dan militer harus bersatu dalam menanggulangi pandemi Covid-19 agar tidak lagi menjadi ancaman bagi kesalamatan dan kedaulatan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Namun OMSP ini perlu dibatasi ruang geraknya, sehingga pengalaman Orde Baru tidak terjadi lagi. Pembatasan ini meliputi beberapa hal, yaitu pembatasan ruang lingkup operasi perbantuan dan waktu keterlibatan. Misalkan apakah sepanjang krisis Kesehatan atau pandemic, bencana alam.

Keterlibatan militer tidak selalu dapat menyelesaikan masalah. Dalam hal ini militer bisa menjadi multiplier effect, dengan membantu pemerintah sipil dan polisi dalam memcahkan masalah atau militer menjadi spoiler actor, yang mengganggu stabilitas.

Oleh karena itu keterlibatan militer harus dipikirkan secara matang terutama dalam suatu wilayah. Misalkan daerah konflik, rawan bencana atau indek pembangunan manusia (IPM) rendah.

Jadi keterlibatan OMSP juga harus melalui pertimbangan. Di satu sisi sangat sulit menetapkan standar kegagalan dan keberhasilan OMSP. Bisa saja pemerintah mengklaim keberhasilannya. Namun dari pihak oposisi atau civil society bisa mengatakan gagal.

Meski OMSP sangat dibutuhkan keberadaannya, namun sebaiknya TNI tidak melupakan profesionalitas dan keselamatan para prajurit. OMSP dalam penanggulangan pandemi Covid-19 telah dilakukan sejak awal Januari 2020.

OMSP sedikit banyak akan berdampak kepada kesiapan TNI dalam mengemban tugas utama mereka dalam menjaga kedaulatan Indonesia.

Fokus, waktu, energi, dan pelatihan yang dibutuhkan untuk menjaga kesiapan perang menjadi terdistraksi dalam menghadapi pandemi ini. Mengingat dinamika ancaman yang bisa hadir kapan pun, tentu kesiapan militer perlu terus dijaga.

Sehingga, perhitungan terhadap dampak kesiapan militer dalam mengemban tugas utamanya menghadapi perang dan menjaga kedaulatan harus menjadi pertimbangkan.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penanggulangi pandemi Covid-19, baik di pusat maupun daerah, hampir selalu melibatkan TNI dalam implementasinya.

TNI telah menyiapkan sebanyak 109 rumah sakit untuk membantu penanganan Covid-19. Sebanyak 91.817 personel TNI dikerahkan dalam rangka operasi penegakan protokol kesehatan di 34 provinsi di Indonesia (Sari, 2021). Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah negara perlu menjamin keselamatan prajurit yang bertugas melalui keberadaan Alat Pelindung Diri (APD) hingga protokol kesehatan yang perlu dilakukan.

Sayangnya, risiko penularan terhadap prajurit TNI dan keluarganya ini masih mendapatkan perhatian yang minim.
Sebagai contoh, sebanyak 1.268 orang di lingkungan Secapa AD, yang terdiri dari 983 calon perwira dan 285 orang organik terpapar virus corona.

Meski sebagian besar merupakan orang tanpa gejala (OTG) dan hanya 17 kasus yang mendapat perawatan di rumah sakit, Kompleks Secapa ditetapkan sebagai zona merah dan diawasi ketat oleh unsur Kodam III/Siliwangi (Riana, 2021). Dapat dibayangkan, di dalam komplek Secapa AD saja, prajurit TNI terpapar Covid-19. Bagaimana mereka yang terlibat langsung di lapangan?.

Di masa damai (tanpa perang), TNI masih tetap bisa melakukan operasinya melalui OMSP. OMSP sendiri sudah memiliki patung hukum. OMSP menunjukkan operasi TNI dalam kondisi tanpa perang. Seperti pada masa bencana alam, masa pandemi Covid-19, hingga operasi kontraterorisme.

Salah satu agenda reformasi adalah menghilangkan dwifungsi TNI, dengan alasan agar TNI lebih focus dan profesionalitas dalam menjaga pertahanan kedaulatan Indonesia. Namun, dengan adanya OMSP, ada beberapa kalangan mengatakan telah menceridai agenda reformasi.

Tapi di sisi lain OMSP dalam penanggulangan pandemi Covid-19 sangat diperlukan. Salah satu alasannya, seperti yang disampaikan oleh David Pion Berlin, sipil tidak mampu untuk menangani sendiri. Selain itu, masih kuatnya kepercayaan di masyarakat, bahwa militer lebih mampu mengatasi masalah ketimbang sipil
Dalam demokrasi, militer harus dibawah control sipil. OMSP tentunya harus dibawah control sipil.

Bagi dalam kebijakan, cakupan perbantuan dan jangka waktu. Namun yang harus menjadi perhatian lebih adalah profesionalisme TNI dan keselamatan prajurit harus tetap terjaga. Karena perang bisa terjadi kapan pun.

Bibliography
Berlin, D. P. (2016). Military Missions in Democratic Latin America. New York: Palgave MacMilan.
Fitri, D. M. (2020). PERAN MILITER DALAM PENANGANAN PANDEMI COVID-19 . Jurnal Penelitian Politik | Volume 17, No.2 Desember 2020, 219-234.
Honna, J. (2020). Military Politics in Pandemic . The Asia-Pacific Journal 18 No. 5 .
Huntington, S. P. (1957). The Soldier and The State The Theory and Politics of Civil-Military . Amerika: Harvard University Press.
Riana, F. (2021, Juli Selasa). www.tempo.com. Retrieved from www.tempo.com: https://nasional.tempo.co/read/1480090/secapa-tni-ad-dulu-klaster-covid-19-kini-nol-kasus/full&view=ok
Sari, H. P. (2021, January Sabtu). www.kompas.com. Retrieved from www.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2021/01/30/14074751/tni-siapkan-109-rumah-sakit-dan-91817-personel-untuk-penanganan-covid-19? (Red).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *