Foto : Ilustrasi Keterbelengguan Humas Trafficking
Solusi Human Trafficking Menurut Perspektif Islam
Oleh: N. Vera Khairunnisa
Beritajabar.net-Tragis!! Di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, polisi telah mengamankan 6 perempuan muda yang menjadi korban trafficking. Mereka awalnya dijanjikan akan dipekerjakan di sebuah restoran. Namun, pada kenyataannya, mereka malah dijadikan pelayan seks di beberapa tempat hiburan di wilayah Bogor, Ciawi, Sukabumi dan Bandung. (kompas. com, 12/08/21)
Kejahatan perdagangan orang atau human trafficking juga terjadi di Indramayu. Jajaran Sat Reskrim Polres Indramayu Jawa Barat, mengamankan sebanyak tiga orang pelaku, satu di antaranya pelajar di salah satu SMA di Indramayu. Sedangkan korban merupakan pelajar SMP, ia dijual untuk menjadi pekerja seks komersial. (sindonews. com, 16/8/2021).
Kejahatan trafficking memang menjadi problem yang sudah terjadi sejak lama. Kasus ini juga bukan hanya terjadi di bagian Jawa Barat, namun ada di berbagai pelosok Indonesia bahkan hingga skala internasional.
Meski sudah dilakukan berbagai upaya untuk mengatasinya, namun nyatanya semua itu belum mampu menghentikan kasus. Bahkan kian hari, kasus trafficking semakin marak dan mengerikan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat bahwa di masa pandemi, ada peningkatan kasusTindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dari 213 kasus (2019) menjadi 400 kasus (2020). Data yang dicatat oleh International Organization for Migration (IOM) di Indonesia juga menyoroti meningkatnya jumlah korban perdagangan anak pada tahun 2020, di mana 80 persen di antaranya dieksploitasi secara seksual. (republika, 08/04/21)
Ada begitu banyak faktor mengapa kejahatan human trafficking ini sulit untuk diselesaikan. Semua faktor ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut adalah:
Pertama, kemiskinan. Dalam kasus human trafficing yang ada di Jawa Barat misalnya, rata-rata mereka yang menjadi korban adalah perempuan yang usianya masih tergolong sangat muda. Mereka terpaksa harus mencari pekerjaan, karena kondisi ekonomi yang sulit.
Ketiga, tidak ada perlindungan dan jaminan nafkah bagi perempuan. Mereka yang seharusnya dilindungi dan dicukupi kebutuhan hidupnya, justru malah menjadi objek eksploitasi dan terjerembab dalam lembah prostitusi.
Ketiga, sanksi hukum bagi pelaku yang tidak menimbulkan efek jera. Sistem sanksi yang diberikan pada pelaku kejahatan terdapat dalam pasal 2 UU 21/2007 bahwa pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (“TPPO”) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp 600 ratus juta. (hukumonline .com 02/01/19)
Lebih mirisnya lagi, masih banyak pelaku human trafficking yang belum tersentuh hukum. Ini sebagaimana yang dikatakan Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia, Gabriel Goa, “yang ditangkap umumnya hanya sopir, sedangkan pimpinan perusahaan perdagangan manusia sulit tersentuh hukum…” (beritasatu. com, 21/08/21).
Jika didalami lagi, ternyata semua faktor tadi muncul akibat adanya suatu tata kelola yang keliru; kemiskinan, tidak adanya jaminan hak nafkah dan masih banyaknya pelaku yang belum tersentuh hukum, disebabkan oleh begitu kuatnya tatanan kapitalisme dalam mengatur kehidupan. Sebuah paham yang menyebabkan kekayaan hanya menumpuk di segelintir orang saja.
Termasuk jaminan nafkah untuk perempuan pun seolah menjadi hal yang sulit diraih. Bahkan dalam sistem ini, perempuan dituntut untuk berdikari, alias berdiri di kaki sendiri. Kalau ingin sejahtera, maka mereka wajib bekerja.
Yang lebih parahnya lagi, dalam pandangan kapitalisme, segala sesuatu selalu diukur dari materi. Trafficking dengan korban perempuan untuk eksploitasi seksual tidak bisa lepas dari persepsi bahwa perempuan adalah komoditas yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kejagatan TPPO ini. Misalnya saja, Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women, CEDAW (Konvensi P enghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) tahun 1979 dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW.
Kemudian diperkuat dengan disahkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Tahun 2017.
Di Jawa Barat sendiri, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat berkomitmen memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jabar. Komitmen itu terwujud dalam Peraturan Daerah (Perda) Jabar Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pelindungan PMI Asal Daerah Jabar.
Hanya saja, seluruh upaya tersebut kemungkinan besar menemui jalan buntu, selama membiarkan tatanan kapitalisme mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seharusnya, semua pihak menyadari bahwa, satu-satunya solusi adalah dengan mengubah persepsi dan tata aturan baru yang komprehensif solutif.
Solusi Islam Memutus Rantai Human Trafficiking
Sebagai seorang muslim dan hidup di negara yang mayoritas muslim, kita seharusnya tidak kebingungan di dalam mencari solusi permasalahan kehidupan. Sebab Islam merupakan agama yang paripurna dan menyeluruh. Secara konsep dan sejarah, Islam mampu menjadi problem solver dalam segala aspek.
Termasuk untuk mencegah dan mengatasi terjadinya human trafficking, Islam memiliki seperangkat aturan yang lengkap dengan solusi yang efektif memutus mata rantai trafficking. Mekanismenya adalah sebegai berikut:
Pertama, Penerapan sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan. Penerapan sistem ekonomi Islam akan mampu mewujudkan kesejahtetaan bagi seluruh rakyat. Sumber daya alam yang melimpah tidak boleh diekspoitasi untuk segelintir orang sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Namun, SDA wajib dikelola oleh negara, yang hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat.
Maka bukan hal mustahil jika pelayanan pendidikan dan kesehatan diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Karena penerapan sistem ekonomi Islam mengkondisikan yang demikian.
Kedua, tatanan Islam akan menjamin perempuan tidak menjadi korban ekspolitasi dan perdagangan orang melalui dua hukum; yakni hukum nafkah perempuan dalam tanggunggan wali, dan hukum keharaman perempuan memanfaatkan aspek feminitas dalam bidang pekerjaan.
Negara pun wajib menyediakan lapangan pekerjaan, terutama bagi laki-laki, karena Islam mendudukkan mereka sebagai pihak yang mencari nafkah. Dengan cara ini, diharapkan para perempuan akan terpenuhi segala kebutuhannya, tanpa harus bekerja.
Ketiga, peradilan negara akan hadir untuk memberi hak gugat bagi perempuan atas nafkah, menghukum pihak-pihak yang wajib memberi nafkah bagi perempuan, dan menutup celah semua lapangan kerja yang memanfaatkan sisi feminitas perempuan.
Keempat, negara Islam pun akan memberikan hukuman yang tegas dan memberikan efek jera bagi siapa saja pelaku human trafficking, tanpa pandang bulu. Termasuk memberikan propaganda di tengah-tengah masyarakat tentang betapa seriusnya negara dalam menumpas kejahatan tersebut. Sehingga orang akan berpikir ulang ribuan kali, sebelum memutuskan untuk melakukan kejahatan.
Itulah solusi masalah human trafficking menurut perspektif Islam. Semoga solusi tersebut bukan hanya berhenti di tataran konsep atau teoritis semata, namun bisa diwujudkan dalam kehidupan. (Red)